
.jpg)
- Bagaimana sesungguhnya awal dan akhir doraemon how to#
- Bagaimana sesungguhnya awal dan akhir doraemon professional#
When I considered to take energy mgmt at SSBM-ITB, I wrote the following.
Bagaimana sesungguhnya awal dan akhir doraemon how to#
So, whatever you dream you are what you think, keep praying and close to the Ultimate Reality, do the right things right and Allah SWT will lead you how to think and take you to your dream. We don’t do what we wish but what we can and when we sincerely do what we can it may lead us to what we want as God always listen to our heard, our pray.
Bagaimana sesungguhnya awal dan akhir doraemon professional#
Time went by and as I got more knowledge and experiences I gradually fell in love with the more scientific than engineering subject and very grateful that i eventually can climb career to the peak of professional ladder as advisor of petroleum geosciences, besides managerial, and of course forgot architecture, despite it’s still my favorite topic. As I grew, things change, I saw more and perceived things differently, but those strongly planted stayed until I went to college and majoring geology, although deep in mind I prefer architecture actually. On his jeep that was infrequently owned by ordinary people he looked so superior and to have been perceived as if he knew everything and solved every problem. When I was kid in 1960s, my dream was someday I wanted to be an engineer, it was just becaused close friend of my dad was one of a few engineers that days. Karena comment beliau rasanya cukup panjang dan insyAllah bermanfaat, saya fikir kenapa tidak saya post saja sekalian. Tulisan yang anda akan baca berikut ini adalah sebuah comment yang diberikan ayah saya, Kartono Sani, setelah beliau membaca salah satu laman yang terdapat dalam blog ini. Sesungguhnya Engkau yang Maha Mengabulkan segala permintaan. Ya Allah, berikan negeri kami hidayahMu, luruskan pandangan kami tentang agamaMu, bersihkan pikiran dan hati kami dari kata dendam, dan suudzon, rahmati kami dengan keadilanMu, jauhkan negeri kami dari kemiskinan, dan lapangkan kami rizkiMu, Ya Allah. Satu hal yang diinginkan orang awam seperti saya ini, kedamaian, itu saja. Ya ya ya, silahkanlah kalau anda-anda mau pakai gelar pahlawan. Seminggu terakhir ini melihat berita di televisi terasa melelahkan. Dikatakan, “mereka yang melarang kami menggunakan kata ‘mujahidin’ berarti melanggar HAM!”. Yang satu melarang mereka menggunakan kata ‘mujahidin’, yang satu tidak mau kalah ‘bombastis’. Beragam komentar, beragam argumen, dan lagi-lagi polemik menyoal hal-hal yang buat saya non-sense. Saya mengelus dada, ketika melihat berbagai tayangan di televisi mengenai eksekusi mati trio bomber Bali. Lugu, berwawasan sempit, dan yang paling berbahaya, gelap mata. Nah yang ini mungkin otaknya sudah digadai dengan dendam. Ada juga yang dengan semangat, mengepalkan tangan, dan berteriak, “Kami akan melanjutkan perjuanganmu Ya Amrozi! Ya Mukhlas! Ya Imam Samudera!”. Mungkin otak dan hatinya sudah pindah ke bawah kaki. Itu kata yang melompat-lompat di kepala saya. Ibu pertiwi sudah lelah melihat darah yang mengalir. Tidak lagi butuh mereka yang senang beradu otot, atau senang berteriak-teriak. Negeri ini hanya butuh satu hal : mereka yang mau berjuang. Kalaupun ada sebuah wasiat misalnya, pasti isinya pesan yang singkat soal melanjutkan tugas yang mereka perjuangkan selama ini. Kenapa kita yang masih hidup malah ribut? Apa iya mereka sempat menulis wasiat kepada anak cucunya agar suatu hari diajukan proposal mengenai pemberian gelar pahlawan nasional? Kan tidak. Sudahlah, mereka yang pahlawan saja tidak pernah meributkan soal itu.


Tidak perlu kemudian berpolemik soal siapa yang pantas dan kriteria apa yang menjadi standar baku agar seseorang bisa mendapat gelar. Menyoal penghormatan cukup diberikan dengan melanjutkan perjuangan mereka setulus hati. Soal bagaimana sebuah perjuangan dilanjutkan, itu sudah menjadi urusan kita-kita, generasi yang masih bernafas di bumi pertiwi. Walaupun perjuangan tidak pernah mengenal garis final. Saya percaya mereka saat ini sudah tenang karena tugas sudah dibayar tunai. Gelar “pahlawan” ditambah embel-embel kata “nasional”, saya rasa tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran.

Hidup mereka memang sudah digariskan menjadi seorang pejuang. Mereka yang pernah berjuang untuk membantu negeri ini menjadi nyata, tidak pernah mengharapkan gelar.
